I. PENDAHULUAN
Islam dalam
realitas konkrit ternyata berkembang dengan deret ukur perkembangan modernitas
bahkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Bagaimanapun tidak bisa
dipungkiri, cepat atau lambat budaya modernitas akan menyusup ke segala wilayah
kehidupan, bahkan juga menyentuh terhadap pemikiran keislaman. Modernitas
sebagai penawar alternatif, harus dipahami sebagai kelanjutan wajar dan logis
bagi perkembangan sejarah kehidupan manusia. Islam dan tantangan modernitas adalah
tidak lepas dari upaya melihat kembali akar sejarah awal Islam yang menyertai
kehidupan kaum Muslim sedunia, termasuk Indonesia dan khususnya di wilayah
Jawa.
Ketika Islam masuk di Jawa,
masyarakatnya sudah mempunyai kebudayaan yang amat kuat. Kita patut bersyukur
bahwa sejak dahulu budaya Jawa tumbuh sebagai budaya yang memiliki sansibilitas
dan fleksibilitas yang tinggi terhadap perubahan-perubahan di
sekitarnya. Nilai-nilai serta pemikiran-pemikiran yang terkandung di
dalamnya pun tak pernah lekang oleh waktu, menjadikannya sebagai budaya yang
kokoh menghadapi perubahan zaman. Namun, tentu itu semua tak lantas kita
terbebas dari kewajiban kita dalam menjaga kelonggaran dalam budaya jawa.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana
kebudayaan Jawa dan Globalisasi?
B. Bagaimana
modernisasi dalam budaya jawa?
III. PEMBAHASAN
A. Bagaimana
kebudayaan Jawa dan Globalisasi?
Maraknya budaya barat yang masuk di tengah masyarakat
cendrung mengubah budaya jawa yang selalu di junjung tinggi menjadi tradisi
modern yang merubah sikap, pola hidup sreta mengesampingkan tata karma
pergaulan di masyarakat. Kurangnya penanaman dan pemahaman budaya jawa yang
benar dalam kehidupa sehari-hari menyebabkan masyarakat enggan dalam
menghidupkan budaya jawa. Semakin terpuruknya budaya jawa banyak mengundang
tanda tanya dalam kelompok kecil masyarakat yang masih menjujung nilai budaya
jawa, bagaimana sikap masyarakat yang mulai menganggap remeh dan kuno terhadap
budaya tersebut. Kengengganan tersebut dipacu karena budaya jawa memiliki pola
hidup dan sikap yang kurang tepat bila di junjung di era globalisasi saat ini.
Penyebab dari memudarnya budaya jawa di era modernisasi adalah merebaknya
budaya barat di tengah masyarakat, berubahnya sikap dan pola hidup masyarakat
terhadap budaya jawa. Kurangnya penanaman dan pemahaman budaya jawa sejak dini
kepada masyarakat.[1]
Globalisasi yang terjadi saat ini dampaknya tidak
terbendung, karena terus menerus merasuk ke setiap kawasan melalui media
komunikasi, informasi, dan teknologi, sehingga mnumbuhkan budaya bangsa barat
lebih menguasai dunia. Mengahadapi fenomena globalisasi, umat islam lebih di
tuntut menjaga dua poin penting yaitu pengokohan identitas dan reaksi timbal
balik dengan fenomena tersebut. Pengokohan identitas bagi umat islam ibarat
amunisi terhadap berbagai unsur buruk dan destruktif dalam gelombang
globalisasi.
Kebudayaan jawa di tengah arus globalisasi, masyarakat
jawa pengusung kebudayaan jawa tidak bisa dapat terbawa arus gelombang
masifikasi budaya-budaya dari etnik-etnik yang ada di Indonesia dan belahan
bumi mana saja. Masyarakat pengusung budaya jawa haruslah dapat secara kreatife
memaknai nativistic momentum sehingga penetrasi budaya-budaya dari luar etnik,
tidak sampai menguras nilai-nilai kejawen itu sendiri. Jika tidak ingin
kebudayaan jawa tergerus gelombang nativistic momentum dari kebudayaan yang ada
dimuka bumi ini haruslah bertahan pada nilai-nilai luhur yang dikandungnya
sembari mengadaptasi budaya-budaya yang ada disekitarnya. Sebab sesungguhnya
nilai-nilai filosofi budaya jawa bila ditafsirkan secara kreatife merupakan
nilai-nilai universal.
Hidup
bagi orang jawa adalah sebuah perjalanan, ungkapan yang sangat umum
menggambarkan pandangan hidup orang jawa adalah sungkan paraning dumadi
(darimana mau kemana). Bagi orang jawa hidup di dunia ini harus memahami dari
mana asal, akan, kemana tujuan perjalanan hidup dengan benar,
Bagaimana
cara kita menangulangi zaman globalisasi tersebut, salah satunya adalah
intropeksi diri, oleh karena itu perlunya ditingkatkan kesadaran diri agar
tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan kita menggunakan filsafat jawa
sehingga jangan sampai orang jawa kehilangan kepribadiannya.
Adapun
potensi filsafah jawa yang dapat digunakan sebagai tameng diri adalah sebagai
berikut:
a. Ajineng diri
saka lathi, ajineng sliro soko kusumo. Artinya nilai diri seseorang terletak
pada gerakan lidahnya, nilai badaniyah seseorang terletak pada pakaiannya,
harga diri seseorang terletak pada ucapannya.
b. Aja dhumuko, ojo
gumon, ojo kagetan. Artinya jangan sok, jangan mudah terkagum, jangan mudah
terkejut.
c. Ojo dhumeh, tepo
sliroh, ngerti kualat. Artinya jangan merasah hebat, terganung rasa,tahu karma.
Dimanapun kita berada, jangan merasa hebat berbuat semaunya.
d. Sugih tanpa
bondho, digdhoyo tanpa aji, ngalurung tanpa bala, menang tanpa ngasarake.
Artinya kaya tanpa harta, sakit tanpa azimat, menyerang tanpa bala tentara,
menang tanpa merendahkan.[2]
B. Modernisasi
dalam Budaya Jawa
Kata modernisasi secara etimologi berasal dari kata
modern, kata modern dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah yang berarti baru,
terbaru cara baru atau mutakhir, sikap berfikir dan bertindak sesuai dengan
tuntunan zaman, dapat juga diartikan maju, baik kata modernisasi merupakan kata
benda dari bahasa latin” modernus”, modo berarti baru saja atau model baru,
dalam bahas prancis disebut modern.
Modernisasi ialah proses pergeseran sikap dan mentalis
sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup masa kini. Adapun modernisasi secara
terminology terdapat banyak arti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dari
banyak ahli. Menurut Daniel Lener, modernisasi adalah istilah baru untuk satu
proses yang panjang proses perubahan social dimana masyarakat yang kurang berkembang
memperoleh cirri-ciri yang biasa bagi masyarakat yang lebih berkembang.
Modernisasi identik dengan kehidupan keserbaadaan
sedangkan modernisasi itu sendiri merupakan salah satu cirri umum peradaban
maju yang dalam sosiologi berkonotasi perubahan social masyarakat yang kurang
maju akan primitive untuk mencapai tahap yang telah dialami oleh masyarakat
maju atau peradaban. Jadi memang harus dipahami bahwa zaman modern harus
dipandang sebagai suatu kelanjutan yang wajar dan logis, dalam perkembangan kehidupan
manusia, yang ditandai oleh kreativitas manusia dalam mencari jalan mengatasi
kesulitan hidupnya di dunia ini, dan harus dipahami pula bahwa betapapun
kreatifnya manusia dizaman modern, namun kreatifitas itu, dalam presfektiv
sejarah dunia dan umat manusia secara keseluruhannya masih merupakan kelanjutan
hasilusaha umat manusia sebelumnya.[3]
Kebudayaan adalah hasil berfikir dan merasa manusia
yang terwujud dalm kehidupan sehari-hari. Wujud budaya tidak lepas darisituasi
tempat dan waktu yang dihasilkannya unsur kebudayaan tersebut. Oleh karena itu
setiap kebudayaan mengalami perubahan. Seperti terjadinya penyempurnaan
sehingga ditemukan adanya perkembangan budaya bangsa-bangsa dunia
ini, dari tingkat yang sederhana menuju yang lebih kompleks. Dengan terjadinya
globalisasi di era modern ini, ada unsur budaya lokal yang memiliki nilai
universal dan ditemukan pada bangsa-bangsa yang ada dibelahan dunia ini.
Dalam proses perubahan kebudayaan ada unsur
kebudayaan yang sukar berubah dan ada yang mudah berubah. Dalam hal ini
kebudayaan dibagi menjadi inti kebudayaan (covert culture) dan
perwujudan kebudayaan (overt culture). Dalam konteks terjadinya kearah
modernisasi yang berciri rasionalistik, materialistis, dan egaliter, maka nilai
budaya jawa dihadapkan pada tantangan budaya global yang memiliki nilai dan
perwujudan budaya yang pluralistic. Sebagai budaya lokal, budaya jawa islam
memang memilki nilai universal di samping nilai lokalnya. Nilai ke universalnya
itu terletak pada nilai-nilai spiritualnya yang relegius magis. Nilai yang
relegius magis pada era modern ini tidak hanya sebatas pada budaya jawa saja,
melainkan juga dapat ditemukan pada negeri lain. Nilai-nlai tersebut masih akan
hidup dimasyarakat penganutnya karena ada factor-faktor penyebabnya, antara
lain:
1. Nilai spiritual
jawa yang sinkretis, yang dalam realitasnya tidak akan mudah hilang dengan
munculnya rasionalisasi diberbagai segi kehidupan karena diperlukan dalam
menghadapi berbagai tantangan hidup di era modern.
2. Orang yang
mengaku beragama islam , atau penganut budaya islam, tidak dapat meninggalkan
tradisi spiritualnya, seperti selametan dan wetonan dengan membuat bbur abang
putih agar mendapatkan keselamatan.
3. Adat itu telah
mengakar lama di masyarakat, maka adat itu dikategorikan dalam covert
culture yang sulit dirubah.
Namun kenyataanya, dalam masyarakat sekarang ini ada
pula adat-adat istiadat jawa yang telah mengalami pergeseran sehingga di
pandang sudah tidak bernilai magis lagi, tetapi bernilai seni. Misalnya
rangkaian upacara dalam perkawinan seperti tarup dan siraman.[4]
IV. KESIMPULAN
Dari materi diatas setidaknya ada beberapa poin yang
dapat disarikan dalam tema singkat tentang “Dinamika Islam dan Budaya Jawa
dalam Menghadapi Modernitas” antara lain:
1. Penyebab dari
memudarnya budaya jawa di era modernisasi adalah merebaknya budaya barat di
tengah masyarakat, berubahnya sikap dan pola hidup masyarakat terhadap budaya
jawa. Kurangnya penanaman dan pemahaman budaya jawa sejak dini kepada
masyarakat.
2. Cara
menangulangi zaman globalisasi salah satunya adalah intropeksi diri, oleh
karena itu perlunya ditingkatkan kesadaran diri agar tidak terbawa kearah
kebobrokan, yaitu dengan kita menggunakan filsafat jawa sehingga jangan sampai
orang jawa kehilangan kepribadiannya.
3. Dalam hal ini
kebudayaan dibagi menjadi inti kebudayaan (covert culture) dan
perwujudan kebudayaan (overt culture).
V. PENUTUP
Demikian makalah ini saya buat, penulis sadar dalam
makalah ini banyak kesalahan dalam penulisan maupun penyampaian. Untuk itu,
kritikdan saran yang konstruktif
sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Semoga dapat
bermanfaat dan menambah wawasan kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. 2002, Islam
dan kebudayaan jawa, Yogyakarta: Gama Media
Koenjaraningrat,2000, Manusia
dan Kedayaan, Jakarta: Djambatan.